Wednesday, April 8, 2009

Don’t judge the book by it’s cover, Fracture

Don’t judge the book by it’s cover. Dalam sebuah film bertemakan perselingkuhan, pembunuhan dan persidangan, berjudul “Fracture”, anda akan semakin memahami mengapa kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari sekedar tampilan.

Ted Crawford (diperankan oleh Anthony Hopkins, seorang aktor yang sudah tidak diragukan lagi kualitasnya), adalah seorang entrepreneur di bidang aeronautika, sekaligus pemilik Crawford Aeronautics. Kehidupan sosial dan finansial Crawford pada dasarnya tidak kekurangan apapun, apalagi dengan ditemani seorang istri yang cantik, tentunya “wish-lists” versi duniawinya Crawford sudah terpenuhi.

Kenyataan ini segera berubah drastis, karena istri Crawford, Jennifer, ternyata sudah cukup lama terlibat perselingkuhan dengan seorang detektif, Rob Nunally. Mungkin tema dasar seperti ini sudah banyak di angkat dalam film-film terdahulu. Yang membuatnya istimewa, setidaknya menurut saya, adalah bagaimana seorang Ted Crawford yang sejatinya adalah warga sipil biasa yang notabene buta hukum, bisa merancang sebuah rencana pembunuhan istrinya secara nyaris sempurna.

Dalam rancangannya, Crawford memetakan seluruh skenario pembunuhan istrinya hingga ke detailnya. Nyaris tidak ada yang terlewatkan, bahkan hingga di akhir film, skenario Crawford bisa dibilang flawless.

Satu malam, Crawford sengaja menunggu istrinya pulang, dan kemudian menembaknya di kepala, tepat mengenai pelipis kiri. Wah kalo seperti ini saja skenario pembunuhannya, sepertinya sederhana dan umum sekali, tapi sebenarnya disinilah awal mula kita dipaksa memutar otak.

Setelah tragedi penembakan, polisi segera berdatangan ke TKP, dan satu-satunya polisi yang diperbolehkan masuk ke TKP (karena Crawford masih memegang senjata) adalah Nunally yang notabene adalah partner selingkuh istrinya. Anda sudah mulai curiga? Saya sudah mulai sedikit, hehe. Istrinya ternyata belum meninggal, dan segera dibawa ke RS dalam keadaan koma. Senjata sebagai barang bukti ditemukan di TKP.

Disisi lain, Willy Beachum (Ryan Gosling), seorang asisten jaksa wilayah yang karirnya sedang meroket, secara tidak sengaja diharuskan menangani kasus Crawford ini. Dengan track record yang mengagumkan (memenangkan 97 % kasus yang ditanganinya), Beachum dengan mudah mendapatkan tawaran kerja di firma-firma hukum terkemuka termasuk tawaran pribadi dari Burt Wooton, owner dari firma hukum ternama Wooton Sims.

Karena pikiran sudah teralihkan dengan pekerjaan barunya di Wooton Sims, dan karena pada awalnya tugasnya hanya membacakan dakwaan percobaan pembunuhan (ingat bahwa istrinya belum meninggal), dan juga karena Crawford sudah membuat pengakuan terlebih dahulu, maka Beachum melangkah ke ruang sidang tanpa persiapan sama sekali.

Hasilnya tak diduga, Crawford yang memilih tidak didampingi pengacara alias mewakili dirinya sendiri, mampu membuat seluruh fakta berbalik menguntungkan dirinya. Pengakuan yang dibuatnya adalah karena tekanan Nunally, dan senjata sebagai barang bukti pun juga belum ditemukan, karena senjata yang ditemukan di TKP diklarifikasi oleh tim forensik, belum pernah ditembakkan.

Lho, jadi sebenarnya yang mana sih yang bener? Makin pusing nih, dan bahkan jaksa wilayah sekelas Beachum dibuat tak berkutik karena sekarang dia menghadapi kehancuran karirnya akibat ceroboh menangani kasus yang ternyata sama sekali tidak didukung barang bukti yang cukup.

Walaupun sempat goyah untuk memanipulasi barang bukti, idealisme Beachum memaksanya untuk secara jantan mengakui kekalahannya, dan Crawford pun dibebaskan dari dakwaan.
Karirnya di Wooton Sims jelas terancam oleh hal semacam ini.

Crawford memang jenius, dia sengaja hanya memperbolehkan Nunally yang masuk ke TKP untuk mempertegas efek pengakuan dibawah tekanan, dia juga telah menukarkan senjata miliknya yang sama persis dengan senjata milik Nunally. Jadi senjata yang selama ini dicari sebenarnya selalu dibawa oleh Nunally kemanapun dia pergi.

Jadi akhirnya begitu? Tidak juga sih, apabila anda masih ingin menonton sendiri, jangan dilanjutkan membaca postingan ini. Tapi kalau tanggung, lanjutannya seperti ini, Crawford yang telah bebas dakwaan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidup istrinya dengan menandatangani surat untuk melepaskan life supporting device yang selama ini membantu istrinya tetap hidup walaupun dalam keadaan koma.

Crawford sangat percaya dan paham dengan teori double jeopardy, sebuah teori yang menyatakan bahwa tidak dimungkinkan adanya sidang ulang atas kasus dan terdakwa yang sama. Intinya dia percaya bahwa dia sudah bebas sepenuhnya.

Lain lagi ternyata ceritanya, Beachum yang pada akhirnya memperoleh semua bukti, membuat dakwaan baru, dari yang tadinya hanya percobaan pembunuhan, menjadi pembunuhan berencana (ingat lagi bahwa sekarang istrinya sudah meninggal).

Anda bisa menebak akhir ceritanya bukan? Hm, ya walaupun film ini produksi tahun 2007 yang lalu, tapi tetap menarik, dan cukup banyak menguras tenaga untu berpikir.
Moral of the story nya juga cukup banyak, selain yang saya singgung di atas, bahwa kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari tampilan, juga bahwa kita seharusnya mempersiapkan segala sesuatu sebelum menghadapi sesuatu, sekecil apapun itu, dan satu hal yang klasik adalah bahwa kebenaran pada akhirnya akan selalu menang.

Mungkin anda juga pernah mendengar istilah butterfly effect? Beachum merupakan contoh kecilnya. Bagaimana sebuah kejadian kecil/remeh bisa membuat perubahan yang demikian besar pada kehidupan seseorang. Anda setuju?

No comments:

Post a Comment